Cerpen Pilihan

Kutukan Batu Besar

Di sebuah kafe di pinggiran pantai itu, Roni dan Fika baru pertama kalinya berkencan setelah selang seminggu semenjak pewristiwa penembakan itu

Di luar sana terlihatlah dua sepeda yang ambruk begitu saja di pagar kafe. Sementara itu, sang surya telah terjun di ufuk barat menandakan bahwa hari sudah beranjak malam.

"Mmmm, Fik!" tegur Roni malu-malu kepada pacar barunya yang sedang asyik dengan hpnya.

"Iya, kenapa?" sahut Fika tanpa mengalihkan pandangan terhadap layar hpnya.

"Sudah malam, kamu belum mau pulang?" tanyanya sambil merrem melek.

"Oh, ya ampun!" kata Fika kaget,"Ternyata sudah jam segini!" buru-buru dia mengemasi barang-barangnya yang tergeletak di meja makan.
Setelah Fika selesai berdandan, mereka berdua pun akhirnya meninggalkan kafe pinggiran pantai itu. Dengan sangat perlahan, mereka berdua mengayuh sepeda mereka masing-masing. Lampu-lampu jalan terlihat berbaris rapi di kejauhan, menambah indahnya suasana malam ini. Suasana yang begitu dingin membuat Roni sedikit girang.

"Fik!" tegurnya di tengah jalan,"Kamu tidak kedinginan?"

"Iya nih, dari tadi anginnya ngembus mulu, jadi berdiri semua deh bulu-bulu halusku." sahut Fika.

Roni pun menawarkan jaketnya yang langsung dipakai dengan sangat girang oleh Fika. Walaupun sekarang Roni merasa lebih kedinginan, di tetap gembira jika memandangi wajah Fika yang kembali sumringah lagi.

"Kamu pakai parfum baru ya, Ron?" tanya Fika tiba-tiba,"Jaketnya wangi!"

Spontan jantung Roni bekerja dua kali lebih cepat mendengar perkataan Fika itu, ingin rasanya dia menjawab, namun entah kenapa bibirnya serasa terjahit, wajahnya pun mulai memerah.

Setelah selama lima belas menit mereka bersepeda di jalanan yang cukup besar, akhirnya mereka pun berbelok di sebuah jalan sempit yang banyak kerikilnya. Belum banyak penerangan yang ada di jalan itu, membuat suasana berubah menjadi ekstrim.

"Fik, berhenti sebentar yuk!" ajak Roni di tengah perjalanan yang ekstrim itu.

"Kenapa, Ron?"

"Aku mau buang air."

Akhirnya mereka pun berhenti di bawah pohon beringin yang super besar, remang-remang terlihat banyak sekali daun-daun kering yang berserakan di bawahnya.

"Aku pipis di balik batu besar itu ya?" kata Roni sembari menunjuk ke sebuah batu besar yang tingginya hampir satu setengah meter, hitam.

"Terserah kamu, Ron!" kata Fika sambil mengangkat kedua bahunya.

Dengan langkah yang supr lebar, rtoni bergegas ke belakan batu besar itu dan mulai mengeluarkan cairan kuningnya, rasa nikmat yang begitu mantap mengalire cepat ke seluruh tubuh Roni, hingga akhirnya dia merasa puas.

Perjalanan pun dilanjutkan dengan diam, sudah kehabisan tenaga mereka berdua rupanya. Kebetulan memang rumah mereka satu jalan dari kafe pinggiran pantai itu, sehingga Fika bisa terus bersepeda berdua dengan Roni, sedangkan Roni, dia akhirnya bersepeda sendiri ketika Fika sudah sampai di rumahnya.

Entah kenapa perasaan Roni tak enak ketika bersepeda sendirian, sepertinya ada sosok yang membonceng di boncengan sepedanya, sehingga membuatnya menolaeh ke arah boncengannya, dan dia tidak menemukan siapa pun di sana. Setelah kesebelas kalinya dia menoleh dan tidak menemukan apapun, dia akhirnya berkata,"Pasti kau ngantuk!"

Roni mengambil jalan sebelah kiri ketika sudah sampai di perempatan jalan dan melewati warung nasi goreng Mas Tum. Aroma yang begitu menggoda membuat Roni memutar balik sepedanya dan memarkirkannya di sebelah bang ku panjang warung tu.

"Nasi goreng pedas, satu mas!" katanya sambil meletakkan pantatnya di bangku panjang yang terbuat dari bambu itu.

"Okelah!" sahut Mas Tum mulai memasak pesanan Roni,"Dari mana saja kamu, Ron?"

"Oh, itu tadi," Roni memutar otaknya sejenak mencari-cari alasan yang tepat,"Oh, iya, tadi habis jenguk temen yang lagi sakit!"

"Ooooh, begitu toh, tapi kok rapi banget?" tanya Ms Tum mulai menyelidiki.

"Iya nih mas, kan biar sopan!"

Aroma bawang yang begitu wangi mulai menusuk-nusuk hidung Roni, membuat air liur Roni sedikit menetes.

"Kamu udah denger cerita heboh belum, Ron?" Mas Tum mulai membuka mulutnya dan menyalurkan hobinya, menggosip, ada-ada saja topik yang dibicarakannya.

"Cerita heboh apa, mas?" tanya Roni yang tak sedikitpun penasaran.

"Itu, si Agus!" tangannya mulai menuangkan kecap di atas masakannya.

"Anak juragan kayu itu?" tebak Roni.

"Iya, dia tadi sore bunuh diri di kamarnya, Ron." terang Mas Tum membuat Roni sedikit terlonjak.

"Masak sih mas?" kata Roni tak percaya "Paling Mas Tum salah denger kali?"

"Malah nggak percaya nih anak, Mas Tum suer, tadi di kampung heboh banget karena kejadian itu!"

"Memangnya kenapa, mas? Kok sampai bunuh diri gitu?" tanya Roni kemudian dengan wajah yang serius.

"Katanya sih dia udah nggak kuat diganggu sama makhluk halus yang datang dari batu besar di jalan itu, jadi bunuh diri deh." terang Mas Tum sambil mengangkat-angkat penggorengannya.

"Lebih detailnya gimana, mas?"

Mas tum sedang sibuk menyiapkan nasi goreng untuk Roni, sehingga di diam saja. Setelah Roni mendapatkan nasi gorengnya, Mas Tum mulai membuka mulutnya lagi.

"Awalnya tuh si Agus kencing di batu besar itu, lalu penunggu batu itu tidak terima...."

Entah apa yang dikatakan Mas Tum tadi, Roni tak bisa mendengarnya dengan jelas. Sekarang  pikirannya sedang bingung entah kepalang, perlahan bulu romanya berdiri semua, menari-nari di atas ketakutannya, nafsu makannya pun hilang seketika, pandangannya kosong, semuanya jadi serba membingungkan.

Untung saja pelanggan Mas Tum yang lainnya datang dan membuat Mas Tum sibuk menggosip dengan pelanggannya yang baru datang itu.

Dengan sangat perlahan. Roni kembali mendapati tubuhnya sendiri dan bergegas pulang.

“Kok, nasi gorengnya masih utuh Ron?” tanya Mas Tum.

“Sudah kenyang, Mas!” jawab Roni asal.

Sepeda yang ditunggangi Roni perlahan-lahan memutar rodanya dan meninggalkan warung nasi goreng yang semakin ramai itu. Sesampainya di sebuah kawasan yang sepi, perasaan diikuti sesuatu kembali bersemayam di benak Roni. Dengan segenap rasa keberanian yang telah dikumpulkannya, dia menoleh ke belakang dan mendapati sesosok anak kecil.

Roni terlonjak kaget dan hampir kehilangan keseimbangannya. Bulu romanya semakin menari ria di tubuhnya.

“Kakak!” kata anak kecil itu,“Kenapa kakak kencing di rumah Keo, Kak? Apa salah Keo?” anak kecil yang namanya Keo itu tersenyum lebar.

Roni hanya bisa berdo'a di dalam batinnya, sementara mulutnya telah tekena lem.

“Kok, Kakak diem aja sih? Jawab Keo Kak? Jawab!” senyum Keo semakin melebar.

Roni yang anak seorang ustadz itu pun mengumpulkan semua keberanian nya dan menanggapi ocehan keo.

“Kan itu batu umum, Keo! Itu bukan tempat tinggal Keo”

“Tapi kan rumah Keo jadi bau Kak!” Keo tertawa cekikikan, “Keo nggak bisa tidur!”

“Oke! Sekarang apa mau Keo?” tanya Roni yang sudah sepenuhnya berani.

“Keo ingin kakak mati!” mata Keo memerah.

Nyali Roni pun menciut mendengar ucapan Keo barusan, “jangan mati dong Keo! Kakak mau melakukan apa saja asal kakak dibiarkan hidup.”

“Pokoknya Keo ingin kakak mati!”

“Jangan mati Keo!” Roni semakin merinding.

“Oke, tapi Keo mau rumah Keo bersih!”

Mendengar syarat yang diucapkan Keo itu, hati Roni sedikit girang juga. Buru-buru dia memutar sepedanya dan bergegas menuju ke tempat batu besar itu untuk membersihkan sisa kencingnya.

Namun, di tengah sebuah perlintasan kereta api, tiba-tiba Keo menghilang dan membuat tubuh serta sepeda Roni membatu tepat di tengah jalan kereta api itu.

Roni bingung setengah mati, dia berusaha sebisa mungkin untuk begerak, namun semua itu hanya sia-sia. Dia hanya bisa melihat Keo yang berlari di depanya.

“Selamat tinggal, kakak!” jerit Keo yang dibarengi dengan sebuah tawa yang keras.

Di kejauhan, terlihatah sebuah cahaya lampu kereta dan suara klakson panjang mulai terdengar

Alisarda
23 Desember 2010