Sungai Maut Musterius
"Adik jangan melewati jembatan yang ada di sungai itu." kata bapak-bapak yang mengenakan sarung dan peci."Memangnya kenapa, Pak?""Sekarang tanggal 18, sungai itu akan meminta tumbal.""Halah Pak! Jaman sekarang kok masih percaya sama kayak gituan. Udah gak jaman.""Terserah kalau adik tak percaya, tapi jangan salahkan saya kalau terjadi sesuatu.""Baiklah, lagian saya jago kok naik sepeda, gak bakalan jatuh ke sungai, dijamin.""Adik sebelum lewat bilang permisi dulu, ya!"
"Apa lagi, tuh! Jembatan aja dikasih salam! Ogah berat!" pemuda yang bernama Vick itu pun mulai menjejak pedalnya.
"Adik!"
"Iya, nanti salam bapak aku sampaikan ke penunggu sungai itu."
Bagai alap-alap, sepeda itu meluncur dengan cepatnya. Sesampainya di ujung jembatan, Vick berhenti sejenak dan menyunggingkan senyum mengejek.
"Kurang kerjaan aja, masak jembatan butut seperti ini harus dikasih salam. Makan nih salam!" Vick membuka mulutnya dan meludah tepat di atas jembatan kayu itu.
Ketika hendak menjalankan sepedanya, dia melihat sesosok perempuan yang berpakaian serba putih berjalan dari tengah jembatan.
"Kurang kerjaan aja tuh cewek dandan heboh kayak gitu." celetuk Vick mendekati wanita itu dengan sepedanya.
"Mau ke mana Neng? Kok dandan kayak gitu." tanya Vick coba-coba.
Alih-alih menjawab, perempuan itu berhenti dan menegakkan kepalanya. Matanya yang merah menatap tajam mata Vick.
Entah kenapa, Vick merasa sebal karena ternyata dia takut akan tatapan perempuan itu.
Ingin rasanya Vick mengalihkan pandangan dari perempuan itu. Tapi tiba-tiba lehernya kaku bagai sebuah patung, hingga membuatnya tak bisa berkutik.
Sesaat kemudian, mata perempuan itu memerah dan mengeluarkan darah segar.
Saat itu pula, mata Vick terpejam dan pikirannya termasuki oleh pikiran lain.
@@@@
"Kau mau kencan denganku bukan?" perempuan itu mendengus kesal.
"Tapi, aku lagi ada tawaran sekarang, Tari. Kau tak mendukungku?"
"Bukan begitu, tapi kan, ah!"
"Tapi kenapa? Bukankah kau senang karena aku mendapatkan tawaran?"
"Tapi, apa gunanya aku membeli dan memakai gaun ini jika tak jadi kencan denganmu!"
"Kau pakai saja gaun itu untuk kencan kita selanjutnya."
"Tidak bisa, gaun ini harus aku pakai sekarang. Kau tahu kenapa?"
"Ya, aku tahu. Karena sekarang tanggal 18, tanggal ulang tahunmu dan sekaligus juga ulang tahun jadian kita, dan lagi, malam ini akan menjadi kencan ke-18 kita."
"Nah! Kau sudah tahu itu, tapi kenapa?"
"Tapi kenapa aku membatalkan kencan kali ini? Iya! Kau sudah tahu bukan!"
"Oh, baiklah. Jika kau tetap tak mau kencan malam ini," Tari memukulkan tangannya ke dada kekasihnya,"Aku akan pergi sekarang!" teriaknya sambil berhambur keluar.
Isakan yang begitu keras terdengar dari arahnya.
Dengan tujuan yang tak menentu, Tari berlari dan terus berlari menyusuri jalan yang begitu disukai dengan isakan tangis. Tetesan matanya yang besar-besar, terjatuh dan menjadi jejak dirinya.
"Tarii!" teriak Tora.
Namun ketika Tari berhenti dan memalingkan wajahnya, dia sadar bahwa dia hanya berhalusinasi suara Tora.
Dia pun meneruskan langkahnya dengan penuh rasa kecewa. Langkahnya gontai, tangan kanannya bergerak cepat dan merusak tatanan rambutnya. Sedangkan tangan kirinya terbuka dan mendekap wajahnya yang masih basah.
Setelah merasa lelah, dia berhenti dan bersandar di bawah pohon beringin yang begitu besar.
Dalam posisi istirahatnya, dia melepas hak dan kedua antingnya yang besar-besar.
Nafasnya terdengar memburu dan dia memejamkan matanya.
Dengan menghirup dalam-dalam udara segar dari pohon itu, perlahan-lahan sesenggukannya pun reda.
Dia merasa senang sekali karena hal itu dan mulai bersenandung keras-keras untuk membuang rasa kesalnya yang masih tersisa.
Puas bernyanyi satu jam lebih, dia bangkit dan mulai berjalan menuju arah sebelumnya.
Namun tiba-tiba langkahnya terhenti di sekitar semak-semak. Tenggorokannya tercekat, dan hatinya pun serasa terobek.
Samar-samar dia mendengar percakapan kecil di balik sana.
"... Lalu kamu bilang apa ke dia?" kata suara perempuan yang dikenal Tari sebagai Tiara.
"Aku bilang saja kalau aku lagi ada tawaran." suara Tora terdengar disertai dengan cekikikan.
"Haha, dasar cewek bodoh, masak bisa dibohongi begitu saja."
"Maka dari itu, aku lebih memilihmu daripada dia. Lagipula..."
Serasa tersambar petir, Tari diam terpaku seakan-akan menunggu ajal yang tak datang-datang.
Hatinya hancur, darahnya seakan mendidihkan dirinya. Lama sekali dia untuk menyadarkan dirinya kembali.
Karena merasa sangat tersakiti, dia mengambil batu besar yang ada dibawahnya. Dengan sekuat tenaga dia memukul kepala Tora dari belakang.
BRAKK
"ARRGH, AHHRGHTH" suara teriakan Tora terdengar sangat mengerikan. Nafasnya tersendat.
"Kyaaa!" Tiara menjerit histeris, suaranya menggigil.
"Hahaha." tawa Tari seraya membuang batu yang berlumuran darah itu.
"Apa yang kau lakukan di balik sana, Tari?!" tanya Tiara setengah membentak.
"Kalau kau tak pergi sekarang juga, nasibmupun akan sama seperti pecundang itu." ancam Tari sambil menerobos semak-semak.
"Kau bercanda bukan?"
"Sekarang!" teriak Tari sambil membanting keras sebuah batu di bawah kaki Tiara.
Wajah Tiara pun tampak ngeri, dengan tatapan miris dia membalik badannya dan berlari kencang.
"T, Tar, Tari.." suara Tora terdengar tersendat-sendat.
"Hooh, ternyata kamu masih hidup! Diam!" Tari membungkuk dan melakukan sesuatu di bagian wajah Tora.
"Ini yang terakhir." tambahnya.
"Ta, ka ka.."
"Maaf, sayang." kata Tari sambil menggelengkan kepalanya. Dia lagi-lagi membungkuk dan mengulurkan tangannya. Dengan kuat, dia mencekik Tora hingga meregang nyawa.
Setelah selesai, Tari memegang kaki Tora dan menyeretnya sepanjang jalan menuju ke sebuah aliran sungai yang cukup deras.
Di sebelah sungai, dia berhneti dan duduk dengan memangku tubuh Tora.
"Apakah kau mendengar suara sungai ini, Tora?" katanya lirih,"Dulu kamu sering menceritakan kegiatan memancingmu di sungai ini, bukan? Dan kau bilang bahwa kau lah yang paling jago."
"Untuk itu, aku mengantarmu ke sini, tempat kesukaanmu, untuk menguburkanmu di sini. Kau suka bukan?"
"Oh ya, tadi bukan yang terakhir."
Tari mendekatkan wajahnya ke wajah Tora dan menempelkan bibir merahnya, lama dan mesra.
Dengan wajah yang beringas, Tari menarik wajahnya kembali dan melepaskan Tora dari pangkuannya.
"Sekarang aku sudah puas, Tora. Selamat tinggal." dia mendorong tubuh itu dengan kakinya hingga masuk ke dalam sungai dan hanyut.
"Oh, iya, Tora, aku pun harus menyusulmu juga." kata Tari sambil tertawa.
Dia mengikat kakinya dengan tali dan terjun hingga lenyap.
@@@@@
Dengan perlahan, Vick kembali mendapatkan kesadarannya. Dia tampak merinding memandang sosok di depannya.
"K, kamu Ta, Tar ri?" tanyanya terbata-bata.
"Ya, aku Tari. Orang yang kehilangan segalanya pada tanggal 18." jawab Tari memandang jauh ke tengah sungai.
"Oh, tapi kenapa masih ada di sini?"
"Tahukah kamu? Sebelum aku benar-benar tenggelam, aku berdoa agar aku bisa membalas dendam atas tanggal 18."
"Lantas?"
"Setelah kejadian tersebut, aku selalu menyusuri sungai ini untuk mencari seseorang laki-laki yang sedang berada di atas sungai ini." tatapannya kembali ke arah Vick.
"Aku selalu mengajak mereka yang aku temui di tanggal 18 untuk menemaniku sebagai ganti pengecut itu."
"Tidak!" jerit Vick. Dia berusaha untuk berbalik dan berlari meninggalkan Tari. Tapi tiba-tiba sekujur tubuhnya kaku, tak bisa digerakkan.
"Ikutlah aku, pria."
Vick merasakan bahwa ujung jembatan mulai berguncang dan roboh.
~end
9 Februari 2011
No comments:
Post a Comment