Di meja nomor 7 itulah seorang lelaki berkemeja duduk sendiri. Raut wajahnya tampak cemas karena ternyata dia sedang menunggu seseorang. Ya, harusnya sepuluh menit yang lalu dia telah bersama dengan pasangannya. Namun kenyataannya dia masih sendiri.
'Kau di mana, Taeyeon?' tanyanya melalu pesan singkat.
'Sekarang aku sedang di rumah, Taecyeon. Kau masih menungguku bukan?'
'Tapi setengah jam lagi aku akan pulang jika kau tak kunjung datang'
'Sebelum berangkat aku harus berhias, Taecyeon. 1jam ya?'
'Baiklah, apa sih yang nggak buatmu.'
Akhirnya satu jam pun berlalu, dari kejauhan Taecyeon melihat orang yang ditunggunya tampak sedang mencoba menyebrang jalan. Hatinya girang dan dia pun beranjak dari kursi untuk menjemput Taeyeon.
"Lama." bisik Taecyeon di telinga Taeyeon pelan ketika dia telah sampai di seberang jalan.
Thursday, April 21, 2011
Renungan
Di kala sang surya mulai tenggelam
Sepasang burung dara hinggap di sarang
Bercengkrama ria
Sepi kian terasa
Karena, ternyata dia menutup telinga
Menghindari suara adzan
Yang kian ramai bersahutan
Dengan tatapan nanar
Botol bir pun terhempas dari tangannya
Hancur luluh lantak
Dia mengerang
Aah
Darah segar pun mulai menetes
Keluar bersama melalui air mata
Kenapa?
Pikirnya heran
Hai kawan,
Suara adzan pun mulai hilang bersahutan
Buka telingamu!
Maka, terbukalah
Telinga yang tak tersentuh hikmah
Langkah gontai menyeret tubuhnya
Melewati karang
Batu terjal pun terinjak
Tanpa arah,
Kawan,
Tak tahukah engkau kawan
Ingatlah akan tubuh rentanmu
Ingatlah kau akan sisa umurmu
Kawan, lupakah engkau?
Atas siapa dirimu
Kehendak siapakah?
Tak perlulah kau bersombong
Tak berguna
Kawan,
Ingatkah dirimu kawan,
Burung dara sedang menertawakan kita
Alisarda, 5 April 2011
Sepasang burung dara hinggap di sarang
Bercengkrama ria
Sepi kian terasa
Karena, ternyata dia menutup telinga
Menghindari suara adzan
Yang kian ramai bersahutan
Dengan tatapan nanar
Botol bir pun terhempas dari tangannya
Hancur luluh lantak
Dia mengerang
Aah
Darah segar pun mulai menetes
Keluar bersama melalui air mata
Kenapa?
Pikirnya heran
Hai kawan,
Suara adzan pun mulai hilang bersahutan
Buka telingamu!
Maka, terbukalah
Telinga yang tak tersentuh hikmah
Langkah gontai menyeret tubuhnya
Melewati karang
Batu terjal pun terinjak
Tanpa arah,
Kawan,
Tak tahukah engkau kawan
Ingatlah akan tubuh rentanmu
Ingatlah kau akan sisa umurmu
Kawan, lupakah engkau?
Atas siapa dirimu
Kehendak siapakah?
Tak perlulah kau bersombong
Tak berguna
Kawan,
Ingatkah dirimu kawan,
Burung dara sedang menertawakan kita
Alisarda, 5 April 2011
Sajak dari Tepi Pantai
Kala surya turun
Ratusan,
Ribuan,
Bahkan juta'an cahaya sorot
Mengabadikan dirinya
Bergantung di atas laut lepas
Tanpa alas kaki pun dia menjepret
Dari yang paling atas hingga bawah
Yang membuatnya tersenyum riang
Senang tampaknya
Namun, tak selang lama bumi bergoncang
Ikan-ikan terlihat berloncatan
Serta air sibuk berhamburan
Ranting-ranting jatuh
Menimpa siapa saja
Yang kebetulan tidak beruntung
Darah pun mulai mengalir
Keluar dari luka-luka yang mengerikan
Keadaan yang semulanya riang
Kini Menjadi jeritan
Keras
Serta menyayat hati
Ngeri melihat insan yang tumbang
Tepat di depan pelupuk mata
Ikan pun mulai menggelepar
Memberikan senyuman yang fantastis
Atas usaha-usaha yang begitu
Mengagumkan
Dengan seperti itulah
Mereka mangkat
Air seakan bertambah susut
Di balik keremangan senja
Hiruk pikuk semakin keras
Mendengar mereka berjubel
Berebut keluar dari kawasan
Menyelamatkan diri
Dari sang ombak yang mungkin akan datang
Dengan tubuh yang gemetar hebat
dia berusaha tetap tegar
Pikirnya percuma jikalau dia lari
Meninggalkan kawasan
Mulutnya bergerak cepat
Mengeluarkan semacam do'a
Pembangun semangat
Dengan begitu
dia mantap akan keputusannya
Bintang pun mulai terlihat
Berkumpul dengan sang dewi malam
Mereka tampak riang
Dan mulai membentuk wajah yang sedang tersenyum
Girang mereka menyaksikan makhluk tanpa daya
Kebingungan
Serta terkepung jiwa keputus asaan
Petir pun tak mau ketinggalan
Mereka keluar dan menampakkan diri
Mereka menjilat
Dan mengeluarkan kilatan hebat
Sesekali di antara mereka
Ada yang masuk ke dalam kerumunan
Membuat gosong seseorang
Sang pemeran utama pun datang
Dengan suara gemuruh yang hebat
Serta tinggi yang menantang
dia bergulung dan menyapu
Menghabisi semua yang dibencinya
Alisarda, 6 April 2011
Ratusan,
Ribuan,
Bahkan juta'an cahaya sorot
Mengabadikan dirinya
Bergantung di atas laut lepas
Tanpa alas kaki pun dia menjepret
Dari yang paling atas hingga bawah
Yang membuatnya tersenyum riang
Senang tampaknya
Namun, tak selang lama bumi bergoncang
Ikan-ikan terlihat berloncatan
Serta air sibuk berhamburan
Ranting-ranting jatuh
Menimpa siapa saja
Yang kebetulan tidak beruntung
Darah pun mulai mengalir
Keluar dari luka-luka yang mengerikan
Keadaan yang semulanya riang
Kini Menjadi jeritan
Keras
Serta menyayat hati
Ngeri melihat insan yang tumbang
Tepat di depan pelupuk mata
Ikan pun mulai menggelepar
Memberikan senyuman yang fantastis
Atas usaha-usaha yang begitu
Mengagumkan
Dengan seperti itulah
Mereka mangkat
Air seakan bertambah susut
Di balik keremangan senja
Hiruk pikuk semakin keras
Mendengar mereka berjubel
Berebut keluar dari kawasan
Menyelamatkan diri
Dari sang ombak yang mungkin akan datang
Dengan tubuh yang gemetar hebat
dia berusaha tetap tegar
Pikirnya percuma jikalau dia lari
Meninggalkan kawasan
Mulutnya bergerak cepat
Mengeluarkan semacam do'a
Pembangun semangat
Dengan begitu
dia mantap akan keputusannya
Bintang pun mulai terlihat
Berkumpul dengan sang dewi malam
Mereka tampak riang
Dan mulai membentuk wajah yang sedang tersenyum
Girang mereka menyaksikan makhluk tanpa daya
Kebingungan
Serta terkepung jiwa keputus asaan
Petir pun tak mau ketinggalan
Mereka keluar dan menampakkan diri
Mereka menjilat
Dan mengeluarkan kilatan hebat
Sesekali di antara mereka
Ada yang masuk ke dalam kerumunan
Membuat gosong seseorang
Sang pemeran utama pun datang
Dengan suara gemuruh yang hebat
Serta tinggi yang menantang
dia bergulung dan menyapu
Menghabisi semua yang dibencinya
Alisarda, 6 April 2011
Foto tak Berbingkai
Sekarang terlihatlah jelas
Bahwa hati seakan menyesal
Memandangi potret diri orang tersayang
Tertempel begitu saja di tembok
Hanya dengan bantuan nasi
Tanganpun mulai meraba
Menyentuh setiap lekuk yang terpampang
Hati semakin bergejolak
Perasaan pun miris
Tek tega
Hingga tergelincirlah butir-butir air mata
Ini memang salahku
Aku tak bisa menahan emosiku waktu itu
Ma'afkan aku
Sekarang aku benar-benar menyesal
Kumohon, kau masih tetap menganggapku sahabat
Waktu itu aku tak kuasa
Melihatmu bercanda ria bersama dia
Hingga akhirnya tanganku gemetar hebat
Membanting bingkai fotomu
Hingga berkeping-keping
Ingin rasanya kubelikan kau sebuah yang baru
Tapi apa dayaku
Sahabat
Walaupun sekarang kau sudah di sana
Aku tak akan melupakanmu
Aku akan terus merawat harta berharga ini
Sebuah foto potret dirimu yang terakhir
Tak lama
Jeritan hina pun keluar memenuhi ruangan
Mengusir keterpurukan
Sudahlah, kita akhiri saja kisah sedih ini
Alisarda, 7 April 2011
Bahwa hati seakan menyesal
Memandangi potret diri orang tersayang
Tertempel begitu saja di tembok
Hanya dengan bantuan nasi
Tanganpun mulai meraba
Menyentuh setiap lekuk yang terpampang
Hati semakin bergejolak
Perasaan pun miris
Tek tega
Hingga tergelincirlah butir-butir air mata
Ini memang salahku
Aku tak bisa menahan emosiku waktu itu
Ma'afkan aku
Sekarang aku benar-benar menyesal
Kumohon, kau masih tetap menganggapku sahabat
Waktu itu aku tak kuasa
Melihatmu bercanda ria bersama dia
Hingga akhirnya tanganku gemetar hebat
Membanting bingkai fotomu
Hingga berkeping-keping
Ingin rasanya kubelikan kau sebuah yang baru
Tapi apa dayaku
Sahabat
Walaupun sekarang kau sudah di sana
Aku tak akan melupakanmu
Aku akan terus merawat harta berharga ini
Sebuah foto potret dirimu yang terakhir
Tak lama
Jeritan hina pun keluar memenuhi ruangan
Mengusir keterpurukan
Sudahlah, kita akhiri saja kisah sedih ini
Alisarda, 7 April 2011
Villa Tua
Terlihatlah 5 orang anak manusia yang berpakaian serba hitam. Mereka duduk di kursi batang pohon yang melingkari sebuah meja kayu besar. Salah satu di antara mereka yang paling heboh adalah Theo. Dan dia mulai membuka mulutnya.
"Jo, kamu beneran mau ikut nggak?" matanya memandang ke arah perempuan yang berambut panjang serta berwarna perak.
"Kamu budheg atau apa sih? Kan aku sudah ngomong berulang-ulang. Aku mau asal Sinta mau!"
"Gimana Sin? Kau sudah gak takut sama ibumu lagi, kan?" pandangan Theo beralih ke perempuan berambut sebahu serta hitam mengkilap.
"Ibuku sih ngasih ijinnya kalau Taecyeon ikut."
"Gimana, Bos?"
"Gue mah oke-oke aja, tapi Aizawa bisa ngeluangin waktu, kan? Hari itu saja!" mata Taecyeon tertuju kepada pria berkacamata.
"Memangnya kenapa?" sambar Theo.
"Gue kagak mau kalo Aizawa gak ikut!"
"Jo, kamu beneran mau ikut nggak?" matanya memandang ke arah perempuan yang berambut panjang serta berwarna perak.
"Kamu budheg atau apa sih? Kan aku sudah ngomong berulang-ulang. Aku mau asal Sinta mau!"
"Gimana Sin? Kau sudah gak takut sama ibumu lagi, kan?" pandangan Theo beralih ke perempuan berambut sebahu serta hitam mengkilap.
"Ibuku sih ngasih ijinnya kalau Taecyeon ikut."
"Gimana, Bos?"
"Gue mah oke-oke aja, tapi Aizawa bisa ngeluangin waktu, kan? Hari itu saja!" mata Taecyeon tertuju kepada pria berkacamata.
"Memangnya kenapa?" sambar Theo.
"Gue kagak mau kalo Aizawa gak ikut!"
Subscribe to:
Posts (Atom)