Kisah ini diawali 5 tahun silam, tepatnya saat aku berumur 16 tahun persis.
Secara umum, memang ulang tahun itu oleh sebagian masyarakat perlu untuk dirayakan, tak terkecuali keluargaku. Sudah seminggu sebelumnya aku memulai aksi protesku untuk membatalkan acara yang menurutku konyol itu. Tapi kata ibu, undangannya sudah terlanjur disebarluaskan dan tak mungkin untuk diminta kembali satu per satu. Aku pun pasrah, mengingat nanti aku akan diejek habis-habisan oleh teman-teman sekolahku.
Acara pun berlangsung denganku yang memasang wajah cemberut, sampai berkali-kali dicubit oleh ibu yang berdiri tepat disampingku. Para tamu undangan tak lain dan tak bukan adalah tetangga, sepupu, kakek-nenek, juga teman-teman dekatku. Mereka semua berdiri dan membentuk sebuah lingkaran yang mengelilingi sebuah kue ulang tahun coklat tingkat tiga, yang di atasnya terdapat lilin berupa angka 16.
Singkat cerita, sore itu juga setelah acara ulang tahun selesai, kakek dan nenek mengajakku untuk jalan-jalan keliling kota. Yah, namanya juga orang tua, maunya harus diturutin. Akupun dengan lemas menyutujui ajakan itu dan berangkat dengan kakek di sisi kanan serta nenek di sisi kiri.
Namanya memang jalan-jalan, tapi sebenarnya kami naik busway untuk sampai di tempat tujuan.
Pertama, kami turun di sebuah rumah makan untuk membeli beberapa nasi kotak dulu, baru setelah itu kami mulai jalan-jalan dengan arti sebenarnya di sepanjang jalan nan rindang.
"Wah, ternyata cucu nenek sudah besar, sudah 16 tahun rupanya. Padahal rasanya baru kemarin keluar dari kandungan." kata Nenek di tengah perjalanan.
Aku hanya diam, tak mau untuk memperpanjang obrolan dengan Nenek, lebih-lebih nanti malah Kakek ikut nimbrung juga.
Dengan saling diam, kami akhirnya sampai pada sebuah pohon beringin besar yang sudah berumur. Mataku berkeliling meneliti untuk memandangi pemandangan yang menurutku luar biasa itu. Hingga pada akhirnya aku melihat ada sebuah benda yang berkilauan tepat di bawah pohon. Karena penasaran, aku pun mendekatinya.
Dan seperti yang kuduga, benda itu sangatlah indah bila dilihat dari kilaunya yang wah! Hingga aku sadari bahwa itu adalah sebuah cincin. Aku pun membungkuk sejenak untuk mengambil cincin itu dan mulai mengamati setiap keindahan yang dimilinya. Dengan terbuat dari perak, serta dihiasi dengan, tunggu, inikan harganya mahal sekali, ya, sebuah Zamrud murni. Aku yakin itu.
"Apa itu, Cu?" tanya kakekku yang terdengar penasaran.
"Bukan apa-apa, Kek. Cuma batu." jawabku sambil berusaha memasukkan cincin itu ke dalam saku tanpa sepengetahuan kakek dan nenek. Terima kasih ya, kalian telah mempertemukanku dengan benda indah ini.
~
"Wow, ini indah sekali, Tom!" puji Vina, dia adalah kekasihku waktu itu, yang baru saja menerima cincin pemberianku.
"Kamu suka?"
"Ya, aku suka sekali!" jawabnya dengan wajah yang berbinar-binar karena saking gembiranya.
"Kuharap juga seperti itu," jawabku turut bergembira,"Tapi kenapa kamu tidak memakainya sekarang juga? Katanya suka?" pancingku.
"Oh, iya." sahutnya gelagapan sambil berusaha memakai cincinnya dengan segera,"Bagaimana? Cocok?"
"Cocok sekali." jawabku yang memang menyukai itu.
"Oh, terima kasih, Tom." Vina tersenyum riang,"Oh iya, aku ada sesuatu juga untukmu."
Dan Vina memberiku sebuah gelang karet hitam yang masih aku pakai sampai sekarang di pergelangan tangan kiriku.
Tak ada yang berubah semenjak Vina mengenakan cincin itu, hanya saja ada yang aneh, dia jadi menjauhi cermin dan kerap kali bertanya,
"Apakah wajahku baik-baik saja?" dengan nada khawatir.
"Ya, kau masih tetap cantik, lebih cantik dari kemarin." jawabku selalu.
Setelah mendengar jawaban itu, dia mengusap wajahnya dengan cepat dan tersenyum simpul,"Terima kasih."
"Ayo kita ke taman!"
"Maaf Tom, tidak bisa, soalnya di rumah ada urusan penting."
"Oh, ya sudah. Tidak apa-apa." balasku kecewa.
"Maaf, ya."
"Ya."
~
"Ini aku kembalikan padamu." kata Vina sambil menyodorkan cincin zamrud pemberianku,"Aku tak pantas memilikinya."
"Lho kenapa? Kamu tambah cantik kok kalau pakai cincin itu. Sungguh!"
"Ah, tidak juga Tom. Bukankah kamu mencintaiku apa adanya?"
"Yaa, baiklah kalau begitu."
Aku pun menerima kembali cincin itu, agak sedih juga sebenarnya. Tapi aku lebih tak mau memperpanjang masalah.
"Aku pulang dulu, ya?"
"Lho, kok cepat-cepat pulangnya. Kan masih siang?"
"Soalnya di rumah ada urusan penting." jawabnya sambil ber...lalu tanpa menggubris protesku.
Keesokan harinya, tubuhku bagai diguncang tsunami. Jantungku bekerja ekstra cepat, keras. Hatiku hancur. Aku mendengar ibunya Vina teriak-teriak di telepon.
"Vina, Tom, Vinaaa..." teriaknya sambil terdengar sesenggukan.
"Ada apa tante?" tanyaku kebingungan.
"Vina, Tom, Vina, dia meninggal...huuu huuu..."
"Ap..." mulutku serasa terbungkam sejenak, perasaan yang begitu menyakitkan menusuk-nusuk di dalam diriku.
"Dia bunuh diri..."
Setahun telah berlalu semenjak kejadian itu, kini gantian aku memberikan cincin itu, karena waktu itu aku belum curiga dengan cincin tersebut, kepada Veny, dia adalah Vina-ku yang baru, walaupun sedikit berbeda.
"Wow, ini indah sekali!"
"Pakailah."
Beberapa hari kemudian, Veny jadi seperti Vina yang aneh, hingga pada akhirnya,
"Ini aku kembalikan padamu."
Persis. Dan saat itu aku berharap agar keesokan harinya Veny masih baik-baik saja. Namun harapanku sia-sia.
"Veny meninggal, Tom. Dia bunuh diri semalam." kata kakaknya.
Beberapa bulan kemudian setelah sakit hatiku reda, aku membawa cincin itu ke tempat orang pintar karena aku sudah mulai curiga dengan cincin tersebut.
"Hmm, Cincin Ki Jarwo rupanya." kata Mbah Sadewo, orang pintar yang aku temui.
"Mbah tau?" tanyaku kagum.
"Tentu saja, ini kan cincin terkenal di kalangan kami. Dan, apakah cincin ini telah memakan korban?"
"2 orang." sesalku.
"Oh, beruntung sekali cuma 2 orang, padahal pasangan cincin ini berhasil merenggut 72 nyawa."
"Pasangan cincin itu?"
"Tunggu sebentar." Mbah Sadewo beranjak dan masuk ke dalam sebuah ruangan hingga kemudian kembali duduk di hadapanku.
"Ini!" dia menunjukkan cincin yang persis sama dengan yang aku temukan. Hanya saja bukan Zamrud, melainkan Delima."Namanya Cincin Nyi Jena."
"Lantas, apa hubungannya?"
"Pakailah cincin itu, maka kau akan tahu apa yang terjadi dengan korban-korban itu. Cincin Ki Jarwo mengincar perempuan, sedangkan Nyi Jena mengincar laki-laki."
Setelah mendapatkan keterangan yang cukup, akupun pulang dengan memakai Cincin Nyi Jena di jari manis tangan kiriku.
Benar saja, keanehan mulai terasa ketika aku sampai di rumah, ketika aku memandangi cermin kesayanganku, aku meligat ada 3 benjolan jerawat besar di dahiku. Karena gemas, aku ingin memencet jerawat tersebut dan anehnya, ketika kuraba ternyata dahiku baik-baik saja.
Oh, jadi ini yang membuat mereka berdua takut akan cermin dan selalu menanyakan perihal wajah mereka, aku tahu sekarang. Ngeri memang mendapatkan kejadian janggal seperti ini. Jika ini terjadi kepada Anda, apa usaha yang akan Anda lakukan? Terlebih lagi, mereka adalah perempuan. Aku bisa membayangkan ketika Vina dan Veny yang menjerit histeris ketika memandangi cermin.
Hari pertama berlalu dengan cermin yang janggal. Hari kedua pun masih sama, hanya sekarang wajahku yang nampak di cermin lebih buruk dari sebelumnya dengan jerawat yang tambah banyak, juga bisul-bisul besar. Sungguh, aku pun takut jika harus berhadapan dengan cermin walaupun aku tahu itu hanya halusinasi belaka. Tapi mereka? Aku tak bisa membayangkannya.
Mulai hari keempat keanehan bertambah di sekolahan. Aku sering sekali melihat sosok berkrudung hitam pembawa sabit lewat begitu saja di hadapanku dengan cepat. Seketika itu pula tubuhku menggigil tak karuan, ketakutan yang begitu besar menjalar di seluruh tubuhku.
Sejak saat itu, aku merasa bahwa di rumah lebih aman daripada di manapun.
Hari-hari penuh kejanggalan terus berlanjut hingga sampailah aku pada klimaks di hari ke-16.
Di cermin, bisul-bisul di wajahku mengeluarkan belatung yang sangat menjijikkan. Di sekolahan, sosok malaikat maut itu terasa selalu mengikutiku hingga membuatku sangat ketakutan dan melepaskan Cincin Nyi Jena dari jari manisku.
Kemudian, sampailah aku di rumah dan mengambil pisau yang ada di dapur (entah kenapa, aku hanya sangat ingin) dan membawanya bersama ke kamar untuk istirahat, tidur.
Terasa hanya beberapa menit, aku terbangun pukul 9 malam dan menemui sosok wanita tua di samping kasurku.
"Siapa kamu?"
"Nyi Jena"
"Mau apa kau kemari?"
"Lihat pergelangan tanganmu!"
Aku pun melihat pergelangan tanganku dan menemukan seekor lintah yang sudah sangat besar. Spontan akupun mengayunkan pisakuku.
Cress
Dan aku akan mati bila saat itu menggunakan pisau asli, namun berkat nasihat dari Mbah Sadewo, aku telah mengganti semua pisau yang ada di dapur dengan pisau mainan yang sangat mirip aslinya.
Kata Mbah Sadewo, jasad yang telah mati itu akan dibuat 'mainan' oleh si penunggu cincin sampai sesaat sebelum matahari terbit.
Vina
Veny
Maafkan aku.
The End
Alisarda, 29 Agustus 2011
keren mas bro, knpa gg di lanjutin aja ceritanya???
ReplyDeletekenapa langsung klimaks???
tak kiro sopo lih...
ReplyDeletekesuwen nak dilanjutkan, nanti bosen, toh intinya juga sama, simple but wonderful.....